Tiarap Karena Sweeping – Razia
Kata yang paling enggan untuk didengar tapi sering disebut-sebut oleh para aktivis cepemeter dulu bisa jadi adalah “SWEEPING”. Kata bahasa Inggris ini memang sangat akrab ditelinga barudak cepe dan mempunyai konotasi razia bagi pengguna frekuensi 3 MHz-100 meter. Bisa dimaklumi, karena konsekuensi terkena sweeping adalah perampasan seluruh perangkat TX oleh petugas yang bisa jadi tidak akan pernah kembali. TX yang sudah dirancang dan dirakit berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hilanglah sudah….! Dan harus merancang dan mencari komponen baru di Pasar Cikapundung untuk dirakit lagi….Pasti mengesalkan.
Namun barudak cepemeter punya cara untuk terhindar dari sweeping….walaupun antene yang membentang khas “long wire” sulit untuk disembunyikan. Kegiatan sweeping biasanya terpola waktunya…! Terkadang longgar tapi terkadang ketat. Pada saat ketat inilah para cepemeter saling kontak untuk tidak “on air” untuk sementara waktu…tiarap ! tapi tetap standby monitor. Dari pengalaman….saat–saat ketat sweeping adalah menjelang Peringatan HUT RI, Pidato Kenegaraan, Pemilu, Sidang Umum MPR. atau bahkan menjelang tanggal 30 September . Semua barudak cepe meter paham alasan sweeping di saat-saat seperti itu walaupun sebenarnya materi komunikasi di cepemeter jauh dari hal-hal yang bersifat politis apalagi provokasi. Walaupun “conggah” tapi nggak kepikiran untuk berbuat “makar” (MAwa KARep sorangan ?) pada Negara. Barudak cepe meter hanyalah sebagian kecil masyarakat yang ingin menumpahkan kegemarannya dalam berelektronika khususnya teknologi radio frekuensi sama seperti sekelompok orang yang lebih mampu membeli pemancar Citezen Band (CB) dan 2 meteran “branded” yang pada saat itu relatif mahal bagi ukuran barudak cepe.
Saat-saat “tiarap” tersebut biasanya dimanfaatkan untuk bereksperimen dan mengotakngatik TX beserta Audionya biar tidak “ketinggalan” antara sinyal dan modulasi. Bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu rasa kangen dan getek untuk men”zero beat”kan TX hampir tak tertahankan namun kita hanya bisa “wait and see”. Frekuensi 3 MHz sepi….hanya suara jeosssss, diselingi suara perempuan berbahasa china atau inggris sayup-sayup. Ada juga yang iseng On Air tapi cuma beberapa menit lalu sepi lagi..! Tapi ada juga, saking ketakutan di razia tiang bambu antene di bongkar sementara…..”meh reugreug !” katanya.
Frekuensi menjadi rame lagi ketika “hari-hari besar Negara” sudah berlalu. Tapi itupun diawali dengan keraguan untuk on air. Kita yang yunior biasanya menunggu para senior. Biasanya yang jadi patokan bahwa frekuensi sudah aman dari sweeping apabila Mang Abung ,Pak Eka , Bejo, Mang Dudu atau Klerer sudah on air lagi di cepemeter seolah-olah komandan perang memberi aba-aba untuk maju…! (he..he he ..punten ah , harita mah dijantenkeun pamuntangan).
Masa-masa sweeping merupakan bagian dari dinamika bercepemeter , menegangkan tapi berbaur menjadi sebuah tantangan yang sangat mengasyikkan saat itu. Dari pengalaman bahwa dengan pola gerilya seperti itu itu jarang sekali barudak cepe terkena sweeping….atau sweepernya “meungpeun carang” ? Walauhu’alam.
Profil : Pak EKA
Sekilas tak akan menyangka jika orang yang satu ini sangatlah ramah. Tidak seperti penampilannya yang terkesan serem berjambang dan berkumis. Dulu….walaupun agak lebih pendek tapi badannya berisi cenderung “lintuh”. Jika sedang ON AIR, artikulasi kalimatnya sangat jelas mantap tapi orang yang mendengar dapat memastikan kalau dia adalah orang sunda. Itulah sebabnya banyak barudak cepe yang bilang kalau sedang zero beat sama orang ini lebih senang stand by monitor dari pada go headnya. EKA !. Ya, Pak EKA itulah nama on airnya, tidak banyak orang tahu siapa nama aslinya, konon katanya EKA adalah singkatan dari……… Endang Kustiwa. Sepanjang yang kita ketahui memang Pak EKA adalah salah seorang radio amatir pangkahotna (bukan kahitna) di Bandung bahkan Nasional. Karir sebagai seorang amatir radio dijalani hampir sepanjang hidupnya sehingga beliau mampu menjadi seorang peradio amatir tertinggi dalam hirarki keradioamatiran dengan Call Sign sama dengan singkatan namanya YB1 EKA. Namun Entah karena “gerentes hate” atau tanggung jawab moril untuk membina teman-teman di cepemeter untuk menjadi peradio amatir yang baik, Pak EKA pun sering ngolong juga dan sangat beken di kalangan barudak cepe Bandung. Ngebrik secara terang-terangan di 100 meter bagi seorang pendekar radio amatir seperti beliau, memang beresiko tinggi dijuluki sebagai pembelot oleh induk organisasi resmi radio amatir di Indonesia. Namun Pak Eka ambil resiko itu demi kemajuan para barudak cepe….Bravo Pak Eka !
Sebagai seorang karyawan PT PLN yang dijalaninya sampai pensiun di tahun 2000, pencapaian tingkat tertinggi dalam hirarki keradioamatiran merupakan sebuah prestasi yang luar biasa, apalagi sebagian barudak cepe yang sempat punya call sign karena perjuangan beliau banyak yang enggan untuk herregistrasi dan akhirnya hangus kemudian dipungut para breker 2 meteran (nah lho…!). Tapi Pak EKA maju terus…..apapun konsekuensinya. Itulah sebabnya kita pantas menjulukinya Sang Maestro di Dunia komunikasi radio baik ORARI maupun kolong/underground/100 meter. Oleh sebab itu pak Eka juga disebut “budak cepe meter”. Pintu rumahnya di komplek PLN Jl. M. Toha selalu terbuka lebar bagi siapa saja untuk berkunjung membicarakan TX dan keradioamatiran atau hanya sekedar silaturahmi. Bravo untuk pak EKA.
Apapun yang terjadi di dunia cepemeter, di hati pak EKA pasti terukir kesan mendalam atas keakraban, kekeluargaan barudak cepe…..sehingga umur menjadi terlupakan terkubur oleh olah bahasa yang conggah, humor, jail, hoghag tapi penuh gelak tawa namun terkadang kerung penuh serius…itulah karakter barudak cepemeter. Salam baktos pak EKA.
Profil : Mang Abung
Hampir dapat dipastikan “barudak cepe” mah mengenal pada orang yang mempunyai postur tubuh gempal ini, apalagi jika dia sedang “ON AIR” . Suaranya yang khas dan agak cadel ini memang hobby ngobrol dan heureuy baik di udara maupun di darat. Itulah sebabnya stasiun radio siaran SONATA 47 pernah merekrutnya sebagai penyiar untuk mengisi acara “kendang penca”. Pengabdian dan pengalamannya pada dunia komunikasi radio 100/cepe meterpun tidak perlu diragukan. Ya…. Mang Abung itulah nama udaranya. Beliau selalu nga “emang” keun pada siapapun, tidak peduli apakah umurnya lebih muda atau lebih tua. “pokona mah Mang Abung we lah” katanya. Walaupun sama-sama gempal tapi yang ini bukan Jendral Abung Kusman yang pernah jadi wagub. Mang Abung yang hobby ngebrik ini mah orang Ciateul tulen. Ketulenan sebagai warga Bandung bolongkotan terlihat apabila bicara tentang Bandung tempo doeloe, mulai dari perkembangan dan perubahan nama gedung bioskop di seputar alun-alun sampai dengan luas wilayah Kota Bandung dari “satapak peucang” menjadi seluas sekarang.
Sejak tahun 1981, dimana pamor cepe meter mulai menurun, hampir sebagian besar cepener kehilangan kontak. Mang Abung masih tetap bertahan dan On air di 100 meter. Banyak factor yang membuat para cepener mulai mengurangi kegiatan ngebriknya, ada yang pindah keluar kota atau komponen TX yang mulai jarang dan lain-lain. Sampai pada suatu hari di tahun 1991 ada kabar bahwa Mang Abung “ngantunkeun”…..Tentu saja para cepener yang tahu kabar itu mengucapkan “Innalilahi wa innailaihi rojiun” dan semoga Iman Islamnya di terima Allah SWT. Namun kabar bahwa Mang Abung ngantunkeun hanyalah kabar burung belaka. “Saya memang waktu itu sakit parah (tipes ?) dan dirawat di rumah sakit, tapi da, jajag waringkas deui” Katanya. “ehh teungteuingen heureuyna barudak cepe” lanjutnya sambil senyum.
Kitapun masih ingat kalau Mang Abung dkk di tahun 80an mengajak para cepener untuk mempunyai Callsign resmi, dan mengikuti bimbingan radio keamatiran yang lokasinya di SMA 7 Jl. Lengkong Kecil. Upaya tersebut akhirnya membuat sebagian besar para pemain 100 meter mempunyai Call Sign Resmi setingkat pemula. Walaupun akhirnya jiwa bebas para cepener yang tidak mau terikat SOP (standard operational procedure) menjadikan Call sign hanya tinggal Call sign…mainnya tetap di 100 meter.
Mang Abung memang breaker sejati dan mempunyai obsesi bahwa keakraban yang pernah dibangun teman-teman cepener 20-27 tahun lalu tidak lekang dilanda waktu dan teknologi canggih bidang komunikasi frekuensi.. Amin
Para Cepemeter Ingin Bertemu – QSO
Rencana “QSO” berawal dari salah seorang sesepuh cepemeter yang mengungkapkan kerinduannya akan keakraban barudak cepe 27 tahun lalu (awal 80an). Tidak digunakannya lagi pemancar (TX) cepe /100meter saat ini dan tidak ada arsip alamat dan no HP para cepener tahun 80an, membuat rindu hanya sekedar rindu tanpa ada kontak komunikasi sesama barudak cepe. Semangat kekeluargaan rupanya tidak pernah surut, sehingga rasa rindu semakin menggumpal menjadi sebuah rencana kegiatan temu kangen dan tepangsono barudak cepe/100 meter.
Gumpalan rindu semakin membesar sehingga terbentuk panitia kecil yang bermarkas di rumah salah seorang budak cepemeter Asep “BR” di Jl. Saledri No. 27 Bandung. Rencana temu kangen/tepang sono ini akan dilaksanakan :
Hari/Tanggal : Minggu, 30 Nopember 2008
Tempat : RM Riung Panyaungan Jl. Raya Banjaran Bandung
Jam :10.00 – 14.00
Rekan-rekan eks cepe meter diharap hadir di acara tersebut. Keterangan lebih lanjut mohon hubungi :
Sekretariat : Jl. Saledri 27 Bandung (022 7300577)
Asep “BR” (08562175959)
Hendra “Junen” (08782115819)
Deddy “Enggeng” (022 5230804)
Damil (08881908247)
Pak EKA (081320130627)
Mang Abung (022 76224058)
Kepada sesama barudak cepemeter yang melihat situs ini mohon informasi ini disebarluaskan
Terimakasih
Komunitas Breaker 100 meter era 70-80an
Bisa jadi, tidak banyak orang yang tahu bahwa di Bandung pada tahun 70 sampai awal tahun 80an pernah terbangun sebuah komunitas yang penuh dengan dinamika keakraban berbasis teknologi frekuensi radio. Orang kebanyakan hanya tahu CB atau dua meteran , radio OZ, Mara, Megantara, RRI, atau radio Garuda yang beken karena dongeng Kang Rahmat Dipraja, bahkan hanya tahu radio Dahlia yang pernah punya program siaran dongeng pasosore abah kabayan dengan “Si buntung jago tutugan”
Komunitas itu adalah pengguna frekuensi radio 3 MHz dengan gelombang radio 100 atau cepe meter, dan para penggunanya sering menyebut dirinya “barudak cepe”. Seringkali frekuensi ini disebut frekuensi “kolong” /underground/ karena tanpa izin secewirpun dan frekuensinya sedikit lebih rendah dibandingkan dengan komunitas pengguna frekuensi berizin yaitu 3,5 MHz (80 meter). Call sign nya pun sesuai selera masing-masing dan terkesan seenaknya “Depong”, “Jean Belel” , “Badjred” , “Komeng” , Bejo”, “Klerer” “Kebo” dan banyak lagi. Tentu saja callsign seperti itu tidak akan pernah menggambarkan apakah briker senior atau bukan seperti pada callsign ORARI yang didahului YD, YC atau YB sebagai simbol kasta senioritas dan ketrampilan beramatiradio. Namun di frekuensi “underground” cepemeter inilah justru nuansa kreativitas khas Bandung terlontar.
Jika ingin berkomunikasi dengan sesama breaker, maka kita harus menyamakan frekuensi pemancar (TX) kita dengan pemancar yang sudah “on air” duluan . Caranya adalah dengan memutar-mutar variabel condensator logam pada rangkaian osilator pemancar sampai frekuensinya sama (zero beat). Proses penyamaan frekuensi ini sangat membutuhkan “feeling”. Jika frekuensinya sudah sama, maka kita tinggal tereak brik…brik ! Tentu saja bermain dengan TX model begini membutuhkan pengalaman cukup agar bisa trampil. Tidak seperti pesawat komunikasi CB atau 2 meter yang tinggal trek…trek memutar nomor chanel. Obrolan di 100 meter bersifat terbuka dan dapat didengar oleh siapapun yang berminat mendengar, asal punya radio transistor SW band. Oleh sebab itu, para pemain cepemeter terkadang suka iseng menjadikan pemancarnya studio radio siaran liar (broadcasting) dengan memutar lagu populer sambil bercuap layaknya penyiar radio kawakan.
Komunitas cepe meter mungkin “eksklusif” karena tidak semua orang mampu berkreasi, sabar berekperimen, atau menyolder komponen elektronik agar bisa meningkatkan daya pancar dan kualitas audio pemancar (TX). Ada nuansa lomba kemampuan terselubung dalam proses ini, tapi justru inilah kekuatan komunitas cepe meter menjadi lebih mengasikkan. Dorongan untuk terus belajar teknologi radio pada sesama anggota komunitas dan berekperimen menjadi sebuah candu yang membuat cepemeter sulit ditinggalkan. Dibandingkan dengan alat komunikasi yang “branded” seperti yang digunakan oleh CB dan 2 meteran, 100/cepe meter lebih menantang , termasuk tantangan bagaimana terhindar dari sweeping..!
Pemancar (TX) yang digunakan semuanya adalah rakitan dan sebagian besar menggunakan tabung radio yang dirangkai bersamaan dengan capasitor , resistor, varco logam dan beberapa lilitan untuk menentukan frekuensi kerja. Umumnya TX ini terdiri dari Osilator (tabung 6v6,), buffer (tabung 6L6) dan final (tabung 807 atau 813). Komponen utama tabung inilah yang membuat kita harus hati-hati menggunakan TX, karena memerlukan voltase tinggi untuk bisa bekerja yaitu antara 400 -1000 volt yang dinaikkan oleh trafo yang dipesan khusus dari pasar cikapundung. Frekuensi kerjanya adalah 3 Mhz maka panjang gelombangnya sekitar 300 : 3 = 100 meter. Dengan menggunakan antenna ¼ lambda maka panjang antenna harus minimal 25 meter. Itulah sebabnya para anggota komunitas cepe meter sulit menyembunyikan diri dari sweeping karena di rumahnya terbentang kabel antenna dari depan rumah sampai belakang dengan menggunakan tiang bambo. Beberapa cepener mencoba bereksperimen dengan antene lebih pendek dengan mengulungnya pada pralon, namun hasilnya ngaberebet ke TV tetangga. Sekali lagi itulah salah satu dinamika bermain di cepe meter….lucu, menegangkan,….tapi menantang untuk lebih kreatif !
Sekarang teknologi komunikasi sudah banyak berubah, ekpresi kreativitas tidak lagi digelontorkan di cepe meter, tapi di blog situs atau frekuensi lebih tinggi (VHF) sehingga antenapun tidak perlu dibentang oleh tiang bambu, tapi cukup dengan setengah meter batang alumunium, bahkan hanya disisipkan dibalik casing sebuah handphone…..Namun prinsip kerja pemancar pada dasarnya sama…Itulah sebabnya banyak alumni cepemeter berkiprah di dunia teknologi komunikasi radio frekuensi tinggi seperti HP atau studio radio siaran dan siaran komunitas yang bekerja dengan sistem modulasi frekuensi.
Briiik, brik…brik ! brik atuh euy ! sero bit teu yeuh…Juit…juit..deb….! Go head …(njir..)
Dikutip dari : Kang Aom di : BANDUNG intensive care
-
Arsip
- Desember 2008 (2)
- November 2008 (4)
-
Kategori
-
RSS
Entries RSS
Comments RSS